Friday, May 09, 2003

8 Cara Melepas Kelekatan ANak

8 CARA MELEPAS KELEKATAN ANAK


Di usia ini, anak memang masih amat lengket dengan orang tuanya. Namun
dengan perlakuan yang tepat, melepas anak agar lebih mandiri, tidak
mustahil, kok.

Dalam melakukan aktivitas apa pun, kebanyakan anak usia batita ingin
ditemani ayah-ibunya. Sarapan, mandi, pakai baju, atau minum susu, semua
harus melibatkan kita. Kalau tidak, ia bisa ngambek. Sementara, setumpuk
pekerjaan masih menunggu untuk diselesaikan.



Menanggapi hal ini, Niken Ayu Purbasari, S.Psi. mengatakan, penyebab
kelekatan anak yang berlebih tak lain disebabkan pola asuh keliru. Jika
orang tua selalu membiasakan diri menolong anak, kelewat melindungi,
membatasi gerak, dan bersikap otoriter terhadapnya, wajar saja bila akhirnya
ia sangat tergantung pada orang tua, kelewat lengket, dan kurang bisa
bersikap mandiri. "Anak, kan, belajar dari lingkungan, terutama lingkungan
keluarga. Kalau keluarga menerapkan pola pendidikan yang keliru, bukan tidak
mungkin pertumbuhan kepribadiannya jadi kurang baik," urai psikolog dari
Yayasan Mutiara Indonesia ini.



Ketidakmandirian semacam itu jelas akan menimbulkan kerugian bagi si kecil.
Di antaranya, tidak bisa secara optimal mengembangkan kepribadian, serta
kemampuan sosialisasi dan kehidupan emosionalnya juga terhambat. Itulah
mengapa orang tua dituntut mencermati kelekatan yang berlebih ini, sekaligus
segera melakukan langkah-langkah perbaikan. Jika tidak, pengaruh buruknya
akan berbekas hingga ke masa mendatang. Ingat, masa batita merupakan dasar
dari pembentukan kepribadian seorang anak hingga ia berusia dewasa.



Berikut 8 langkah yang diberikan Niken, agar anak bisa melonggarkan
keterikatannya pada ayah-ibu.



1. TUMBUHKAN RASA AMAN DAN NYAMAN



Kelewat lengket dengan orang tua sebetulnya merupakan ungkapan rasa tidak
aman. Rasa ini umumnya muncul pada saat anak berada di luar rumah. Saat itu
ia merasa harus terpisah dari keluarganya, terutama ayah dan ibu.



Agar anak merasa aman, orang tua perlu memberi penjelasan sederhana yang
mudah dimengerti, contohnya, "Om ini baik, kok. Dia juga pintar nyanyi dan
bikin mainan lucu-lucu. Jadi, kamu enggak perlu takut." Selain aman,
tumbuhkan pula rasa nyaman. "Kenapa takut? Kan, Mama ada di sini, di samping
Adik," misalnya. Jangan lupa, tersenyumlah kepadanya agar tumbuh perasaan
nyaman.



Rasa aman dan nyaman merupakan modal penting dalam melakukan berbagai
aktivitas. Dengan merasa tenteram ia bisa bebas bermain yang berarti
memudahkannya melepaskan diri dari kelekatan dengan orang tua.



2. BINALAH RASA PERCAYA DIRI.



Rasa percaya diri erat kaitannya dengan kemampuan menjadi mandiri. Jika
diteruskan, kemandirian adalah lepasnya ketergantungan anak dari orang tua.
Pupuklah rasa percaya diri anak dengan memberinya kebebasan dan kepercayaan
melakukan segala sesuatu, asalkan tidak berbahaya.



Contohnya, biarkan anak memutuskan sendiri hari ini akan memakai baju yang
mana. Beri kesempatan padanya untuk mengenakan baju dan sepatunya sendiri,
bahkan menyisir rambut. Melalui kesempatan dan kebebasan yang kita berikan,
rasa percaya dirinya akan terpupuk. Dari hari ke hari ia jadi semakin yakin
dapat melakukan tugas-tugas tadi.



Bila kebiasaan ini terpupuk dengan baik, nantinya anak dapat memutuskan
apakah dia memang bisa dan harus melakukan sesuatu atau tidak. Jangan lupa,
pengalaman pertama yang dirasa menyenangkan dan memberi kepuasan pasti akan
mendorong anak untuk melakukannya kembali.



3. HARGAI ANAK



Jangan pelit memberi penghargaan yang pas. Jangan pula
menghubung-hubungkannya dengan pemberian materi. Pujian, belaian, ucapan
kata-kata sayang dan hal-hal sejenis sudah cukup menumbuhkan rasa percaya
diri anak.



Penghargaan atas hasil yang dicapai anak juga merupakan fondasi bagi
bangunan percaya dirinya. "Setiap individu, termasuk anak pasti ingin
mendapat penghargaan atas apa pun yang sudah dilakukannya. Termasuk bila
masih terdapat kesalahan di sana-sini."



Pada anak yang merasa dihargai akan terbentuk konsep diri yang positif. Nah,
konsep diri seperti itulah yang nantinya akan mendukung perilaku-perilaku
positif.



4. KELELUASAAN BERMAIN



Biarkan anak bebas bermain bersama teman-temannya. Jangan lelah mendorongnya
agar tertarik bermain bersama teman-teman. "Lihat, tuh. Kayaknya asyik
banget, ya, main bola dengan teman-teman. Ayo, ikut main sana." Memperbanyak
hubungan anak dengan dunia luar, baik dengan teman-teman sebaya maupun
dengan yang beda usia akan menguatkan rasa percaya dirinya.



Buang jauh sikap overprotektif yang hanya akan merusak rasa percaya dirinya.
Larangan ini-itu hanya akan mematikan kreativitas anak yang selanjutnya
memperkuat rasa ketergantungan pada orang tua. Nah, agar anak bisa diarahkan
melakukan segala sesuatu sendiri, mulailah dari hal-hal kecil yang kemudian
meningkat ke hal-hal besar.



Bila dari awal rasa percaya diri anak relatif rendah, sementara ia juga
kurang atau bahkan tidak mendapat stimulasi sama sekali, bukan mustahil akan
makin sulit meminta anak tampil bersama orang lain. Tak heran, dalam
melakukan aktivitas apa pun ia hanya mau bersama-sama dengan orang tua saja.



5. PERKENALKAN LINGKUNGAN DI LUAR RUMAH



Buka wawasannya dan beri ia alternatif kegiatan yang melibatkan banyak
orang. Semisal mengajaknya ke rumah tetangga atau kerabat yang
memungkinkannya bermain bersama kawan sebaya.



Anak yang sudah memiliki rasa percaya diri umumnya akan lebih mudah diajak
berkenalan dengan lingkungan luar rumah. Bermodal rasa percaya diri, anak
lebih mampu diharapkan menekan rasa takut dan mindernya saat berada di
lingkungan yang lebih luas. Kesempatan untuk mengenal lingkungan yang lebih
luas inilah yang sepatutnya diberikan orang tua.



6. HINDARI INTERVENSI



Ketika anak mengalami masalah, orang tua sebaiknya jangan langsung menolong,
apalagi mengambil alih semua permasalahan anak. Pola asuh semacam ini hanya
akan membuatnya kurang memiliki citra diri positif dan semangat juang.



Pada anak yang mengalami masalah kelekatan, sikap orang tua yang ingin
tampil sebagai dewa penolong dengan gemar main potong hanya akan menguatkan
kelekatannya. Menghadapi masalah apa pun, anak merasa tak perlu berusaha.
Soalnya, ia tahu persis orang tuanya akan segera turun tangan. Sikap ini
kian mempertegas ketergantungannya.



Boleh jadi, intervensi orang tua dilakukan atas dasar rasa sayang.
Tujuannya, membebaskan anak dari masalah. Namun kenyataannya, sikap seperti
ini sama sekali tidak menguntungkan anak. Sebaliknya, kalau orang tua memang
sayang, latihlah ia menolong diri sendiri. Mulailah dari hal-hal sederhana,
seperti menyuap makanan sendiri.



Yang tidak kalah penting, janganlah mudah menyerah. Upaya yang merupakan
salah satu dari tahapan belajar ini memang butuh waktu yang panjang
disamping kesabaran.



7. ARAHKAN, BUKAN MALAH MEMOJOKKAN



Jika anak keliru atau tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya, barulah orang
tua boleh ikut nimbrung. Itu pun sebatas memberi arahan dan bukan merampas
kesempatan. Hanya saja, arahan yang diberikan haruslah disampaikan secara
bijak. "Lo, kok, pegang sendoknya terbalik. Nasinya jadi tumpah, deh.
Harusnya kamu pegang seperti ini (sambil mencontohkan) lalu masukkan ke
mulut."



Penjelasan bijak yang bersifat mengarahkan akan sangat membantu dalam
memperbaiki kesalahan tanpa membuat ketergantungannya jadi semakin kuat.
Hindari pula sikap maupun kata-kata yang bersifat memojokkan, apalagi yang
bernada menghujat. Kata-kata seperti itu hanya akan membuatnya merasa rendah
diri dan takut mencoba atau melakukan sesuatu sendiri. Inisiatifnya surut ke
batas minimum.



Kala mendapat tugas apa pun, ia akan selalu kembali ke orang tuanya tanpa
berusaha hanya karena ia takut salah, dicemooh, dan dipojokkan. Yang lebih
celaka, anak akan merasa orang tuanya selalu benar, sementara dirinya selalu
salah, yang akhirnya kian menyulut ketergantungan.



8. JANGAN KELEWAT MENUNTUT



Orang tua, sebaiknya jangan terlalu menuntut anak untuk bisa melakukan apa
saja sesuai standar tertentu. Misalnya, menuntut anak mengancing baju
sendiri dengan sempurna. Bila tuntutan-tuntutan semacam ini dipaksakan
kepadanya, sementara kemampuannya belum tumbuh dengan baik, hal itu hanya
akan memunculkan konsep diri yang negatif. Padahal, agar bisa berkembang
secara optimal, dibutuhkan suasana kondusif yang bisa memunculkan semua
potensi anak.



Irfan Hasuki. Foto: Vitri/nakita



Belum Tentu Lebih Dekat Ke Ibu



Sebenarnya, ujar Niken, anak bisa lekat pada siapa saja. Entah itu ibu,
ayah, pengasuh ataupun kakek-nenek, tergantung bagaimana pola kesehariannya
dan bagaimana kualitas serta cara orang tua memberi perhatian itu.



Kalaupun anak cenderung lebih lekat pada ibu, kemungkinan besar hal itu
terbawa dari kelekatannya sejak lahir. Bukankah sejak dalam kandungan, anak
sudah sangat dekat dengan ibunya. Ditambah, sifat ibu pada umumnya lebih
peka dan setelah lahir bayi menyusu pula pada ibu.



Namun, tidak mustahil anak lebih dekat pada ayah atau malah pengasuhnya.
Mungkin saja dalam kesehariannya, anak tidak mendapat perhatian yang cukup,
baik secara kuantitas maupun kualitas dari sosok ibu. Sementara sosok ayah
atau malah pengasuh, secara kuantitas dan kualitas mampu memberikan porsi
melebihi yang diberikan ibu.



Tidak tertutup kemungkinan pula, meski sehari-hari ibu berada di rumah, anak
tetap lebih dekat ke ayahnya. Jika ini terjadi, ibu mesti mempertanyakan
caranya menjalin kedekatan psikis dengan anak. Sementara ayah yang jarang
ada di rumah malah mampu mencurahkan perhatian yang sangat berkualitas lewat
tutur kata, belaian, dan tatapan mata yang membuat anak merasa sangat dekat.
"Jadi, kuantitas pertemuan tidaklah cukup tanpa dibarengi kualitas,"
tandasnya.



Irfan

No comments: