Saturday, September 27, 2003

Menciptakan Anak Pintar sejak Dalam Kandungan

ADALAH hal yang sangat naif, ketika seorang anak menjadi bodoh, nakal,
pemberang, atau bermasalah, lalu orang tua menyalahkan guru, pergaulan di
sekolah, dan lingkungan yang tidak beres. Tiga faktor itu hanya berperan
dalam proses perkembangan anak, sedangkan bakat anak itu menjadi bodoh,
nakal, atau pemberang justru terletak dari bagaimana orang tua memberikan
awal kehidupan si anak tersebut.
Bukan hal aneh bahwa seorang anak dapat dididik dan dirangsang kecerdasannya
sejak masih dalam kandungan. Malah, sejak masih janin, orang tua dapat
melihat perkembangan kecerdasan anaknya. Untuk bisa seperti itu, orang tua
harus memperhatikan beberapa aspek, antara lain terpenuhinya kebutuhan
biomedis, kasih sayang, dan stimulasi. Hal ini diungkap dokter spesialis
anak, dr Sudjatmiko, MD SpA.

Bicara tentang kecerdasan, tentu saja tidak bisa lepas dari masalah kualitas
otak, sedangkan kualitas otak itu dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Secara
prinsip, menurut Sudjatmiko, perkembangan positif kecerdasan sejak dalam
kandungan itu bisa terjadi dengan memperhatikan banyak hal. Pertama,
kebutuhan-kebutuhan biologis (fisik) berupa nutrisi bagi ibu hamil harus
benar-benar terpenuhi. Seorang ibu hamil, gizinya harus cukup. Artinya,
asupan protein, karbohidrat, dan mineralnya terpenuhi dengan baik.

Selain itu, seorang ibu hamil tidak menderita penyakit yang akan mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan anak dalam kandungannya. Kebutuhan nutrisi itu
sendiri, sebenarnya bukan hanya ketika ibu mengandung, melainkan ketika ia
siap untuk mengandung pun sudah harus memperhatikan gizi, makanan, dan
komposisi nutrisinya harus lengkap, sehingga ketika ia hamil, dari segi
fisik sudah siap dan proses kehamilan akan berlangsung optimal secara
nutrisi.

Tapi, memang di Indonesia atau di negara-negara berkembang pada
umumnya--boleh dikatakan sangat jarang ada keluarga yang mempersiapkan
kehamilan. Malah, kerap kehamilan dianggap sebagai suatu yang mengejutkan.
Berbeda dengan yang terjadi di negara-negara maju. Inilah yang cenderung
menjadi penyebab awal mengapa anak-anak yang lahir kemudian tidak
berkualitas, karena orang tua seakan tidak siap dalam segala hal untuk
memelihara anaknya.

Faktor kedua adalah kebutuhan kasih sayang. Seorang ibu harus menerima
kehamilan itu, dalam arti kehamilan yang benar-benar dikehendaki. Tanpa
kasih sayang, tumbuh kembangnya bayi tidak akan optimal. "Si ibu hamil harus
siap dan dapat menerima risiko dari kehamilannya," kata mantan Sekretaris
Jenderal Ikatan Dokter Anak Indonesia itu. "Risiko itu, misalnya, seorang
wanita karier yang hamil, merasa terbebani dan khawatir akan mengganggu
pekerjaannya. Ia sebenarnya ingin hamil, tapi juga merasa terganggu dengan
kehamilannya itu. Kondisi seperti ini tidak kondusif untuk merangsang
perkembangan bayi dalam kandungannya," tambahnya.

Selain itu, menurut Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini, ada
faktor psikologis yang memengaruhi perkembangan kecerdasan bayi, yaitu
apakah si ibu hamil menikah secara resmi atau kawin lari. Pernikahannya
direstui atau tidak, dan apakah ada komitmen antara istri dan suami. Tanpa
komitmen di antara keduanya, kehamilan itu bisa dianggap mengganggu.

Juga harus ada support (dukungan). Tanpa support, walaupun ada komitmen dari
suami dan orang tua dapat mengurangi perkembangan dan rangsangan kecerdasan
bayi dalam kandungan. "Jadi, variabel kasih sayang tadi adalah komitmen
dengan suami, serta support dari orang tua dan keluarga, sehingga seorang
ibu dapat menerima kehamilannya dengan hati tenteram," lanjut Sudjatmiko.

Faktor ketiga adalah adanya perhatian penuh dari si ibu hamil terhadap
kandungannya. Ia dapat memberikan rangsangan dan sentuhan secara sengaja
kepada bayi dalam kandungannya. Karena secara emosional akan terjadi kontak.
Jika ibunya gembira dan senang, dalam darahnya akan melepaskan neo
transmitter zat-zat rasa senang, sehingga bayi dalam kandungannya juga akan
merasa senang.

Sebaliknya, bila si ibu selalu merasa tertekan, terbebani, gelisah, dan
stres, ia akan melepaskan zat-zat dalam darahnya yang mengandung rasa tidak
nyaman tersebut, sehingga secara tidak sadar bayi akan terstimuli juga ikut
gelisah. "Yang paling baik adalah stimuli berupa suara-suara, elusan, dan
nyanyian yang disukai si ibu. Hal ini akan merangsang bayi untuk ikut
senang. Berbeda jika si ibu melakukan hal-hal yang tidak disukainya, karena
itu sama saja memberikan rangsangan negatif pada bayi," ujar Sudjatmiko.

Tapi, stimuli itu sendiri lebih efektif bila kehamilan sudah menginjak usia
di atas enam bulan. Sebab, pada usia tersebut jaringan struktur otak pada
bayi sudah mulai bisa berfungsi.

Untuk mendapatkan kondisi-kondisi itulah, seorang ibu hamil harus tetap
menjaga nutrisi yang didapat dari makanan sehari-hari. Bahkan, perlu
diimunisasi, misalnya dengan suntik TT. Lakukan juga konsultasi rutin dengan
dokter secara berkala. Mula-mula sekali sebulan, dan pada bulan terakhir
menjelang kelahiran (partus), diperketat menjadi tiga minggu sekali, lalu
dua minggu sekali, dan bahkan mendekati partus menjadi setiap minggu.

Sudjatmiko juga menyarankan untuk tidak meminum obat-obatan yang katanya
bisa merangsang perkembangan dan kecerdasan otak bayi. Obat-obatan semacam
itu hanya omong kosong. "Pemberian obat semacam itu percuma saja, dan tidak
berpengaruh apa-apa," katanya. "Yang penting, ciptakan saja lingkungan
mendidik, yaitu tiga faktor tadi.

Sementara itu, psikolog anak Dra Surastuti Nurdadi juga mengungkapkan
pendapat yang sama. Stimulasi positif, menurutnya, memang dapat meningkatkan
kecerdasan anak sejak dalam kandungan. Dari stimulasi ini, diharapkan ketika
anak tumbuh, bukan hanya menjadi cerdas, melainkan dapat bersosialisasi
dengan lingkungannya. "Stimulasi menimbulkan kedekatan antara ibu dan anak.

Bahkan, lanjut Surastuti, bayi masih dalam kandungan bisa distimuli dengan
diperdengarkan musik klasik, diajak berbicara, dan diberikan elusan penuh
kasih sayang. Orang tua juga harus siap dan berusaha mengajarkan cara
anaknya bersosialisasi dengan dunia luar ketika ia masih di dalam rahim.

Tapi, mengapa musik klasik? Pendapat semacam ini memang terus menjadi topik
bahasan. Musikus hebat seperti Adhi MS, pimpinan Twilite Orchestra, juga
meyakini musik klasik dapat merangsang kecerdasan bayi sejak dalam
kandungan. Bahkan, untuk jenis musik yang 'merangsang bayi' ini sudah banyak
dijual di toko-toko kaset tertentu.

Tapi, untuk lebih tuntasnya kupasan mengenai hal itu, coba kita simak
penuturan Surastuti yang juga dosen di Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia ini. Musik klasik, katanya, memiliki berbagai macam harmoni yang
terdiri dari nada-nada. Nada-nada inilah yang memberikan stimulasi berupa
gelombang alfa. Gelombang ini memberikan ketenangan, kenyamanan, dan
ketenteraman, sehingga anak dapat lebih berkonsentrasi.

"Menurut beberapa penelitian, musik klasik memang termasuk metode yang
tepat. Anak menjadi siap menerima sesuatu yang baru dari lingkungannya,"
ujar pengasuh rubrik konsultasi di Klinik Anakku ini. Tapi, jangan coba-coba
memperdengarkan musik-musik keras kepada bayi dalam kandungan. Konon, justru
menyebabkan timbulnya kebingungan pada si jabang bayi! (*/V-1)


Sumber: http://www.media-indonesia.com/cetak/berita.asp?ID=2002072323280596

No comments: